Senin, 12 Januari 2009

Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan Umat

Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan Umat

Oleh: Muhammad Syafii Antonio

Mencermati angka anggaran pendidikan 2002, kita cukup gembira. Tetapi, prihatin dalam waktu yang sama. Gembira karena pemerintah telah berupaya maksimal mengalokasikan Rp 11,6 triliun rupiah atau sekitar 24,5 persen dari total anggaran pembangunan, untuk anggaran pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga. Sedih bila kita melihat perbandingan anggaran pendidikan negara-negara maju yang mencapai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP), sementara itu, di negara negara berkembang 2,5 persen. Khusus Indonesia, anggaran pendidikan kita baru mencapai 1 persen dari GDP. Melihat keterbatasan ini adakah konsep fund for education yang mampu ditawarkan Islam. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya, kita lihat bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik mampu berkiprah dan survive.

Mencermati nama-nama lembaga Islam terkemuka seperti Al Azhar University Cairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Terbetik dalam pemikiran kita bagaimana mereka bisa besar, mampu bertahan berabad-abad lamanya, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa selama lebih dari 1.000 tahun dari seluruh penjuru dunia? Pertanyaan ini mengemuka karena baik Al Azhar, Zaituniyyah, demikian juga Universitas Nizamiyyah (yang pernah di pimpin Imam al Ghazaly) di Baghdad bukanlah lembaga pendidikan yang fully profit oriented. Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak sosial. Apakah mungkin pendanaannya hanya mengandalkan sedekah dan infak masyarakat setempat, sementara mereka harus membiayai operasionalnya sendiri, membangun sarana belajar-mengajar tambahan, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa yang mana Indonesia termasuk paling banyak menikmati fasilitas ini? Salah satu jawabannya adalah mereka telah berhasil mengembangkan cash waqf sebagai sumber dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan.

Waqf atau wakaf secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Oleh karena itu, tempat parkir disebut mauqif karena di situlah berhentinya kendaraan demikian juga padang Arafah disebut juga Mauqif di mana para jamaah berdiam untuk wukuf. Secara teknis syariah, wakaf sering kali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk kemanfaatan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. Secara administratif wakaf dikelola oleh nadzir yang merupakan pengemban amanah waqif (yang memberi wakaf). Contoh yang paling klasik dari wakaf adalah tanah. Hubungan antara makna harfiyah dan makna teknis terkait dengan adanya ''keabadian'' unsur pokok (substansi) di mana ia harus berhenti, tidak boleh dijual atau dialihtangankan kepada selain kepentingan umat yang diamanahkan oleh waqif kepada nadzir waqf.

Perdebatan ulama tentang unsur ''keabadian'' mengemuka, khususnya antara mazhab Syafii dan Hanafi di satu sisi serta mazhab Maliki di sisi yang lain. Imam Syafii misalnya sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf (lihat kitab al Umm bahasan Ihbas atau Mughni Muhtaj vol II hal 376, karya Khatib Syarbini). Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafii, maka bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya.

Di lain pihak, Imam Maliki (lihat pembahasan wakaf dalam Bidayat al Mujtahid wa Nihaya al Muqtashid karya Ibn Rusyd dan Mughni wa Syarh al Kabir karya Ibn Qudamah) mengartikan ''keabadian'' lebih pada nature barang yang diwakafkan baik itu, aset tetap maupun aset bergerak. Untuk aset tetap seperti tanah unsur keabadian terpenuhi karena memang tanah dapat dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut, demikian juga halnya dengan masjid atau madrasah. Berbeda dengan Imam Syafii, Imam Maliki memperlebar lahan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Dalam pandangan mazhab (school of thought) ini ''keabadian'' umur aset wakaf adalah relatif tergantung umur rata-rata dari aset yang diwakafkan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini mazhab Maliki telah membuka luas kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk aset yang paling likuid yaitu uang tunai (cash waqf).

Dalam catatan sejarah Islam, cash waqf ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.

Ada empat manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika alakadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.

Ada tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan prinsip cash waqf dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi cash waqf harus dilihat dalam bingkai ''proyek yang terintegrasi'', bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf akan ''habis'' bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus ''abadi''. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nadzir. Sudah terlalu lama nadzir sering kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta'ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib ''berpuasa''. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nadzir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan nadzir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki, misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net income pengelolaan dana wakaf.

Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

Semoga dengan penerapan cash waqf ini, umat Islam dapat melakukan akselerasi peningkatan kualitas SDM umatnya. Karena, toh, kewajiban pendidikan adalah fard al kifayah yang harus kita tanggung bersama tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan yang memang semakin lama semakin jauh dari angka yang ideal.






1 komentar: