Senin, 12 Januari 2009

POLITICAL DIMENSION A. PENDAHULUAN Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang tidak perlu untuk dipungkiri. Pendidik

POLITICAL DIMENSION

A. PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang tidak perlu untuk dipungkiri. Pendidikan dapat diharapkan menjadi instrument
mengembangkan kesadaran, sikap serta watak politik bagi siswa. Oleh karena itu,
untuk membangun kultur politik di masyarakat maka yang pertama harus dilakukan adalah mengubah orientasi pendidikan yang ditekankan pada kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Kemandirian diperlukan untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu, sehingga bekerjasama dengan warga lain merupakan keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkannya visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab adalah keberanian mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat kepada masyarakat.
Keadaan perubahan politik yang berlangsung di Indonesia telah menempatkan bangsa ini dalam posisi yang dilematis dan kompleks. Kondisi semacam ini dari perspektif pendidikan menunjukkan telah terjadi proses rekayasa yang amat lama sehingga teori yang membuktikan adanya keterkaitan yang erat antara politik dan pendidikan.
Dalam berbagai kesempatan, bahwa kehidupan politik menjadi ajang perjuangan memperebutkan kekuasaan. Untuk itu, perjuangan politik harus diimbangi dengan upaya penciptaan konsensus.
Secara histories, memang perjalanan system pendidikan di Indonesia sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarahnya, masyarakat Nusantara telah mengenal system pendidikan keagamaan, yakni agama Hindu dan Budha. Agama Hindu yang menganut adanya kasta, tampaknya lebih menekankan pada system pendidikan yang feodalistik. Hanya keluarga Brahmana yang memperoleh peluang untuk mendapatkan pendidikan. Sistem peguron diperuntukkan bagi putera kerajaan dan kelompok Brahmana lainnya. Dalam system ini peserta didik mengunjungi para petapa yang dijadikan guru untuk mempelajari agama Hindu. Mungkin latar beakang ini pula yang menyebabkan system pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di Bumi Nusantara. Lain halnya dengan agama Budha yang tidak mengenal system kasta, pendidikan lebih memasyarakat. Institusi pendidikan agama Budha tampak lebih demokratis. Terbuka untuk umum. Salah satu contoh terlihat pada institusi pendidikan agama Budha bernama Syakyakirti. Di zaman keemasan kerajaan Sriwijaya, menurut catatan para pengunjung, Syakyakirti dikunjungi oleh pelajar dari sejumlah Negara Asia, antara lain dari India dan Tiongkok, Bahkan menurut I”Ising, saat berkunjung ke Ibu Kota Sriwijaya, Palembang, didapatinya ada sekitar 1000 penuntut ilmu agama Budha yang belajar di Syakyakirti.
Di zaman kesultanan Islam, pendidikan disinkronisasikan dengan misi
dakwah. Ketika itu mulai dikenal dua system pendidikan yaitu, yakni system surau atau langgar dan system pondok pesantren. Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individu atas dukungan masyarakat lingkungannya, sedangkan system pondok pesantren, ketika itu umumnya berkolasi di sekitar kawasan kraton. Pembiayaan pengelolaan ditanggung oleh Sultan. Demikian pula penempatan para tenaga pengajarnya, ditunjuk atas persetujuan penguasa politik. Para tenaga pengajara ini memperoleh nafkah dari hasil tanah lungguh yang diserahkan Sultan. Setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh tokoh agama yang disebut kyai atau ulama.
Setelah kehadiran kaum colonial, khususnya Belanda, pondok pesantren ikut dilibatkan dalam kancah politik. Dalam pandangan [emerintahan colonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontah”. Atas penilaian itu pula maka sekitar tahun 1926, pondok pesantren sudah tidak lagi termuat dalam statistic pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengemabangan institusi dan system pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik colonial. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya Undang-Undang Sek9olah Luar Liar(Wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebut memperoleh subsidi dari pemerintah, dan dianggap legal. Sedang yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud dinilai sebagai sekolah luiar, harus dibubarkan.
Untuk mengantiipasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah organisasi social keagaam mulai mengadopsi system pendidikan Barat, yang dipelopori oleh golongan pedagang keturunan Arab bernama Jamiatul Khairiyyah, memelopori berdirinya system pendidikan Islam modern yakni madrasah, yang kemudian diikuti oleh Muhammadiyah, Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, Nu, dan lain-lain. Sementara itu diluar pengawasan pemerintah, system pendidikan pondok terus berlanjut.

A. DIMENSI POLITIK

Politik Pendidikan adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya. Kajian lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya. Kajian politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan Negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat yang lebih baik. Kajian politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik Negara dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah, tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun kembali melalhu jalur pendidikan, dan tentang bagaimana perkembangan dan keruntuhan suaru hegemoni.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system social politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang sau sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara, lebih dari itu, keduanya saling menjunjang dan mengisi.
Lembaga-lembaga pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebailiknya, lembaga –lembaga dan proses politik di suatu Negara membawa dampak besar terhadap pada karakteristik pendidikan di negara tersebut yaitu realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Di dunia Islam, kerterkaitan antara pendidikan dan politik terliohat jelas. Sedang peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan –ersoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik elompok dan pengilkutnya. Dalam analisisnya tentang pendidikan [pada masa Islam klasik Rasyid (1994) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid tidak hanya sebatas dukungan ,oral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi,keuangan, dan kurikulum.
Selain karena factor religius nbahwa Islam sangat menjunuung aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dakwah dan wadah untuk menanamkan ideology Negara. Pendidkan Islam tidak hanya berjasa dalam menghasilkan para pejuang yang militant dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar akan hokum.
Di Negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara politik dan pendidikan dimulai oleh Plato dalam bukunya “Republic”. Dalam buku tersebut utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, kemudian juga membahas hunuban antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Adanya hubungan dinamis anatar aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287, hubungan timbale balik anatara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), maslaah pengangguran (unemployment), dan perranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang social, politik, dan ekonomi.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dala berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik seting social politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dalam suatu masyarakat, hubungan tersebut bisa saja sangat kuat dan riil, dan dalam masyarakat lainnya hubungan terebut bisa saja lemah dan tidak nyata. Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai-nilai dan lembaga Barat, pola hubungan natara pendidikan dan politik berubah daridari pola tradisional ke pola modern. Di Negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapaiperbahan politik dan dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di sebagian Negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik.
Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada system politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.
Jika politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai social (Harman, 1974:9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan menurut Baldridge (1971), lembaga-lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem politik-mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sitem politik. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-sapek kependidikan.
B. PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA
Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pendidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalaupun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substansi hubungan politik dan pendidikan. Namun demikian keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.
Keterkaitan politik dan demokrasi dalam pendidikan sangatlah erat, karena untuk membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warga negara tidak sekedar mampu membaca dan berhitung, tetapi juga perlu memahami fungsi pemerintahan yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan memahami konsep operasional pasar bebas. Kekuatan suatu bangsa terletak pada kemampuan warga bangsa untuk mengambil keputusan secara rasional. Kadar pemahaman warga bangsa atas fungsi pemerintahan akan menentukan derajat rasionalitas keputusan yang diambil. Begitu juga dalam kaitan dengan pendidikan, diharapkaan ada upaya memfasilitasi setiap peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan individual dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama.
Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempegaruhi pengambilan keputusan kebijakan public. Pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan warga dalam masyarakat demokratis. Untuk itu, dalam setiap peserta didik harus ditanamkan dan dikembangkan sikap politik dan kemampuann untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Sekolah memang bukan lembaga politik, namun memiliki dampak yang signifikan atas proses politik lewat tanggung jawab sekolah membekali peserta didik dengan pengetahuan dasar tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta mengembangkan daya kritis dan kejujuran untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sekolah juga memiliki tanggung jawab melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan fungsinya sebagai anak bangsa di lingkungan masyarakat yang demokratis. Sekolah Memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik guna berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Rezim Orde Baru menjadikan pendidikan sebagai instrumen melanggengkan kekuasaan mereka lewat indoktrinasi politk. Akibatnya, kepala sekolah dan guru tidak lagi mendasarkan kerja mereka pada profesionalitas, melainkan pada instruksi, petunjuk dan pengarahan. Sekolah bukan lagi wahana yang bersifat demokratis, melainkan merupakan lembaga demokratis. Lembaga yang anti demokratis, seperti lembaga pendidikan dewasa ini mustahil akan dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis. Untuk itu, demokratisasi lembaga pendidikan perlu mendapatkan priortas perhatian. Dengan kata lain reformasi pendidikan yang mendasar atau lebih tepat transformasi pendidikan merupakan keharusan.
Untuk menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan jati dirinya dan bertindak sesuai dengan dirinya, sehinggga dapat memenuhi interes dan mengembangkan bakatnya, dan dapat mengambil keputusan secara rasional tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukan demi kepentingan diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya, perlu pembaharuan aspek regulasi, profesionalitas dan manajemen. Kemampuan memahami persoalan masyarakatnya, pengambilan keputusan yang rasional bertindak sesuai dengan keputusan, sangat diperlukan untuk mencegah munculnya tirani baru.
Dengan demikian sekolah yag demokratis akan menjadi sumber pengembangan moral. Pemaksaan dengan berbagai dalih tidak akan mendapatkan tempat lagi. Pemaksaan di sekolah hanya akan menumbuhkan frustasi yang cepat atau lambat akan melahirkan proses merosotkan rasa percaya diri, keputus asaan, dan kekerasan terhadap satu dengan yang lain.
Salah satu implikasi dari transformasi pendidikan adalah system dan cara belajar dewasa ini yang siswa dipacu berusaha menguasai bab-bab yang ada dalam buku harus dirombak dan guru harus tidak sekedar memberikan informsi, memberikan tes kemudian memberikan nilai, tetapi lebih jauh lagi bahwa mata pelajaran yang diajarkan hanya merupakan sarana membentuk diri peserta didik, baik intelektual, personal maupun aspek sosial. Untuk itu, guru harus mnemahami apa yang dipikirkan dan dipahami oleh siswa, serta mampu mengembangkan hubungan yang akrab dengan peserta didik, sehingga dapat menciptakan learning performance yang otentik, mmperhatikan perkembangan siswa, menghormati perbedaan di kalangan siswa.
Diharapkan dengan perubahan ke tiga aspek tersebut, dapat berdampak pada perubahan aspek-aspek : perencanaan, pelaksanaan, standar, target, pemahaman tujuan-target, system insentif, umpan balik orang tua-siswa, orientasi, persepsi terhadap input, evaluasi, kontrol sekolah, pengambilan keputusan, dan peran orang tua siswa dan masyarakat..

C. FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling
mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-embaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.
Yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen si\osialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang system politik, dan jenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Berbagai institusi pendidikan yang ada di masyarakat dapat
berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam uapaya membentuk sikap keyakinan politik yang dikehendaki . Berbagai aspek pembelajaran, teeuatama kurikulum dan baha-bahan bacaaan, sering diarahkan pada kepentingan politik tertentu.
Eliot(1959:1047) menambahkan bahwa salah satu komponen
terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesionalisme, pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide-ide dari individu yang didewa-dewakan seperti John Dewey, John Lock, William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Kenbutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi program untuk mengantisipasi tuntutan public. Ketiga, aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa irganisasi kebangsaaan yang memiliki semangat patriotic. Berbagai kelompok tersebut sering mempengaruhi isi kerikulum dan sulit dicegah. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran.
Menurut Massialas (1969a:18-19 dan 1969b:155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang sesuatu system), afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negative terhadap penguasa atau symbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsure-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak Negara berkembang dan totaliter, peimpin politik sangat menyadari pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melaksanakan berbagai cara untuk mengontrol system pendidikan dan menitipkan ppolitik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan.
Dari generasi ke generasi, negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang ditimbulkan oleh system pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka meyadari bahwa Negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankkan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarhkan berbagai unsure kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam enentukan arah perubahan politik. Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh factor pendidikan.
Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan controversial dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Misalnya, kebijakan tentang kurikulum Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) , dan kebijakan tentang seragam sekolah, khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi di sekolah umum.Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad para penguasa rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara secular berlandaskan Pancasila. Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didisain sedemikian rupa sesuai dengan visi dan misi plitik penguasa rezim.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan system pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan system pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama masa Orde Baru otoritas pendidikan di kabupaten dan ota hanya merupakan perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maa pada era reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menata system pendidikan masing-masing, yang tergambar dalam semangat otonomisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk menunjang proses otonomisasi, sekolqh-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit plaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan self-sufficient dan self-fulfilment. Inilah salah satu alas an mengapa sejak 1999 pihak Departemen Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan School Based Management (BSM) di sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. Untuk memperkuat daya dukung sector pendidikan terhadap gerakan refrmasi dan mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based curriculum. Unt5uk memacu partisipasi para stakeholder pendidikan, pihak Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based education. Saat ini di sekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan perwakilan dari stakeholder. Untuk mem-backup pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam mendidain dan mengembangkan program-program pendidikan, maka di beberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang ada di daerah.
Di tingkat Perguruan Tinggi , pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot p[roject perguruan tinggi tersebut berubah status dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan perubahan status tersebut, maka para pengelola institusi pendidikan tinggi tersebut diberi kebebasan untuk mencari, memanfaatkan, dan mengembangkan dana serta program perkuliahan. Pengelolaan dana pada BHMN diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit oriented. Para pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan sumber-sumber dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akademik.

D. SOSIALISASI POLITIK
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik mendasar yang harus dimiliki bersama oleh sebagian besar anggota ari system yang sedang berjalan dengan berbagai variasi. Salah satu prasyarat fundamental bagi bertahannya sebuah sstem politik, menurut Easton (1957:311), adalah apabila oreang-orang yang terlibat dalam system politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Bagian paling relevan dari proses conditioning ini, menurut Easton (1957:311) adalah sosialisasi politik (political Socialization) atau politisasi (politicization). Menurutnya, daya tahan suatu system dalam banyak hal akan tergantung pada sejauh mana keberhasilan proses politisasi.
Salah satu jalan yang menghubungkan sekolah dengan politik, kata Massialas ( 1969:155) adalah elalui sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya; kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasi-oraganiosasi yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya, bisa saja secara eksplisit maupun implicit terkait dengan transmisi orientasi politik dasar terhadap lingkungan. Orientasi politik dasar, menurut nya terbentuk pada usia sangat dini, khususnya antara usia 13 tahun. Orientasi politik dasar yang terbentuk pada usia tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidup kecuali jika ada lingkungan sangat kuat yang mempengaruhi individu.
Sosialisasi politik doiperlukan, baik untuk mempertahuankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan suatu system politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan atau kritik terhadap suatu system diberikan oleh agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, gereja, masjid, kelompok sebagaya dan sekolah. Sekolah, misalnya, dapat mensosialisasikan anak didik untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap loyal terhadap pemerintah. Sebailknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis terhadap suatu rezim. Dengan menekankan hak dan privilese mereka sebagai warga Negara, ketimbang tugas-tugas dan kewajiban mereka, sekolah dapat menstimulasi pada pemuda untuk mengorganisasi dan mengatikulasikan keinginan tertentu terhadap pemeribtah dalam bentuk tuntutan.
Secara lebih luas, sposialisasi politik melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi system politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideology dan agenda politiknya adalah dengan mengontrol system pendidikan. Ketika system politik memgalami transformasi radikal, langkah awal yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera mengubah system pendidikan. Mereka mengubah struktur, personil, kurikulum, dan peserta pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku yang ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan. Hal serupa juga dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa untuk memperkuat cengkeraman kolonialisme di Negara-negara Asia dan Afrika. Dalam konteks inilah dapat dilihat dengan jelas betapa pendidikan berperan besar dalam integrasi system politik.
Easton (1957:311) melanjutkan salah satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu system politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus mengasai ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan oleh para anggota system yang ada. Apakah suatu system politik baik atau tidak, jika system itu ingin berlanjut, dalam artian luas system tersebut harus mampu mendidik anggota masyarakat untuk memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan dari mereka.

E. ORIENTASI DASAR POLITIK

Orientasi dasar politik, menurut Easton (1957:311-12), mencakup tiga elemen utama. Pertama, obyek politik atau kesan yang dipersepsikan. Kedua, nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan. Ketiga, sikap politik (political attitude).
Tiga orientasi dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan oleh individu tertentu tentang orang-orang, praktik dan institusi akan dibentuk secara bersama oleh apa yang dia kehendaki dan sikap-sikap yang diekspresikannya terhadap obyek-obyek politik.
Banyak badan dan mekanisme dalam masyarakat yang memberi kontribusi pada sosialisasi politik anggota seuatu system politik. Institusi-institusi pendidikan memainkan peranan penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan system politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi dasar yang dimiliki oleh individu. Rata-rata anak berada di bawah pengaruh sekolah mulai dari usia lima (5) tahun hingga usia 15 atau 16 tahun, seuatu periode yang cukup bagi sekolah untuk memberi warna pada kehidupan mereka pada masa dewasa.
Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekrutmen politik. Pada umumnya pendidikan meningkatkan peluang bagi individu untuk naik ke jenjang kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi dan untuk mendapatkan status elite politik.
Wajib belajar yang bersifat universal telah memainkan peran penting dalam memberantas buta aksara secara missal sehingga memungkinkan terlaksananya system komunikasi dalam system politik modern saat ini. Tanpa massa yang melek huruf suatu system politik tidak mungkin dapat dijalankan dari generasi ke generasi. Kelompok-kelompok yang dipertemukan melalui industri pendidikan, seperti dosen-dosen, guru dan urid, sering memainkan peran penting dalam memberikan masukan pada system politik. Kelompok-keompok mahasiswa, misalnya , telah sangat mempengaruhi kebijakan public pemerintah. Begitu juga guru-guru, memainkan peran poitk penting dalam masayarakat, adlah kelom[ok politik yang signifikan, selain jarena partisipasi langsung mereka dalam politik, juga karena posisi ,mereka sebagai penghubung komunikasi antara kelompok elite modern dengan massa rakyat. Keterlibatan guru dalam dunia poitik bisa didorong oleh keinginan untuk mengekspresikan aspirasi politik tertentu, bisa juga karena terkooptasi oleh kekuatan pengusasa, sebagai contoh pada masa Orde Baru adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang berafiliasi dengan Golongan Karya (Golkar).

F. LANGKAH KE DEPAN
Kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang studi lebih terkait
dengan perkembangan kebijakan pendidikan ketimbang dengan metode, teknik, atau teori-teori penelitian. Pada masa lalu perkembangan penelitian terhambat oleh para praktisi pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan public tidak bersifat politis dan memiliki struktur pengelolaan yang terpisah dan independent. Sikap isolasionis ini memaksa para peneliti untuk mengamati praktik sekolah (school operations) dan mengabaikan lingkungan politiknya.
Pada masa yang akan datang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh Negara, manajemen atau ontrol terhadap pendidikan, studi banding atas Negara-0negara yang emiliki pemerintah kesatuan (unitary government), control fiscal sentralistik dan sentralisasi kurikulum dan minat serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat.
Untuk konteks ke Indonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa focus yang berkqitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan social dan politik negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otonomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampus, manajemen perguruan tingggi, manajemen sekolah, akreditasi, dan lain-lain. Memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan, mengggalakan studi komparatif cross-regional maupun cross-national, meninjau dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat mikro maupun makro.
Di era otonomi pendidikan sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas, dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah, dan analisa tentang latar belakang, isi, actor, implementasi, dan implikasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat ntuk skala nasipnal maupun yang dibuat untuk skala daerah.

G. KESIMPULAN

Sebagai suatu usaha mempertahankan system yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian system nilai politik (politik, budaya, ideology, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsure-unsur dinamis yang ada pada diri manusia, yaitu sikap, perilaku, system berpikir, pandangan, unsure indriatif dan unsure-unsur instingtif yang diarahkan kepada suatu obyek tertentu (kondisi pelestarian) agar obyek tersebut dapat didekati.
Proses mengaktifkan unsure-unsur dinamis tersebut yaitu melalui proses pendidikan, karena erat relevansinya dengan unsure-unsur dinamis dimaksud. Pendidikan sebagai suatu aktivitas mempengaruhi, mengubah dan membentuk sikap dan perilaku berdasar nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.
Bidang pendidikan mendapat perhatian khusus pemerintah karena pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan suau bangsa dan Negara. Lebih jauh dari itu pendidikan aan menentukan nasib bangsa dimasa yang akan dating. Pendidikan yang diselenggaraan pemerintah diarahkan untuk membentuk sikap, perilaku dan pola piker yang bersifat integrative, yaitu suatu sifat yang m,elihat bangsa dalam suatu esatuan yang utuh, tidak terpecah oleh keyakinan yang berada di luar pola keyakinan yang telah diterima dan dijunj8ung tinggi bersama.
Pada umumnya pendidikan politik yang dilaksanakan suatu Negara dalam system apapun bentuknya adaah bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan generasi penerus senbagai penerima dan pelanjut system nilai (system politik, pola keyakinan, seni budaya).
2. Menyamakan system berpikir tentang nilai-nilai yang dapat mempedomani aktivitas kehidupan bernegara.
3. Memantapkan sikap jiwa di dalam melaksanakan system nilai sekaligus membangun hasrat melestarikannya.
Dalam proses pendidikan politik yang menjadi perhatian bukan
hanya peserta didik (sebagai calon komunikator politik) namun juga para pendidik yang bertugas mentransformasikan simbol-simbol politik. Dalam system politik di Indonesia, para pendidik sebagaimana ang ditetapkan dalam pasal 31 ayat (1 dan 2) berkewajiban untuk:
1. Membina loyalitas pribadi peserta didik terhadap ideology Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kebudayaan bangsa
3. Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengamdian
4. Meningkatkan kemampuan professional sesuai dengan tuntutan perkembangangan ilmu pengetahuan dan tenologi serta pembangunan bangsa.
5. Menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.





















POLITICAL DIMENSION

A. PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang tidak perlu untuk dipungkiri. Pendidikan dapat diharapkan menjadi instrument
mengembangkan kesadaran, sikap serta watak politik bagi siswa. Oleh karena itu,
untuk membangun kultur politik di masyarakat maka yang pertama harus dilakukan adalah mengubah orientasi pendidikan yang ditekankan pada kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Kemandirian diperlukan untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu, sehingga bekerjasama dengan warga lain merupakan keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkannya visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab adalah keberanian mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat kepada masyarakat.
Keadaan perubahan politik yang berlangsung di Indonesia telah menempatkan bangsa ini dalam posisi yang dilematis dan kompleks. Kondisi semacam ini dari perspektif pendidikan menunjukkan telah terjadi proses rekayasa yang amat lama sehingga teori yang membuktikan adanya keterkaitan yang erat antara politik dan pendidikan.
Dalam berbagai kesempatan, bahwa kehidupan politik menjadi ajang perjuangan memperebutkan kekuasaan. Untuk itu, perjuangan politik harus diimbangi dengan upaya penciptaan konsensus.
Secara histories, memang perjalanan system pendidikan di Indonesia sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarahnya, masyarakat Nusantara telah mengenal system pendidikan keagamaan, yakni agama Hindu dan Budha. Agama Hindu yang menganut adanya kasta, tampaknya lebih menekankan pada system pendidikan yang feodalistik. Hanya keluarga Brahmana yang memperoleh peluang untuk mendapatkan pendidikan. Sistem peguron diperuntukkan bagi putera kerajaan dan kelompok Brahmana lainnya. Dalam system ini peserta didik mengunjungi para petapa yang dijadikan guru untuk mempelajari agama Hindu. Mungkin latar beakang ini pula yang menyebabkan system pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di Bumi Nusantara. Lain halnya dengan agama Budha yang tidak mengenal system kasta, pendidikan lebih memasyarakat. Institusi pendidikan agama Budha tampak lebih demokratis. Terbuka untuk umum. Salah satu contoh terlihat pada institusi pendidikan agama Budha bernama Syakyakirti. Di zaman keemasan kerajaan Sriwijaya, menurut catatan para pengunjung, Syakyakirti dikunjungi oleh pelajar dari sejumlah Negara Asia, antara lain dari India dan Tiongkok, Bahkan menurut I”Ising, saat berkunjung ke Ibu Kota Sriwijaya, Palembang, didapatinya ada sekitar 1000 penuntut ilmu agama Budha yang belajar di Syakyakirti.
Di zaman kesultanan Islam, pendidikan disinkronisasikan dengan misi
dakwah. Ketika itu mulai dikenal dua system pendidikan yaitu, yakni system surau atau langgar dan system pondok pesantren. Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individu atas dukungan masyarakat lingkungannya, sedangkan system pondok pesantren, ketika itu umumnya berkolasi di sekitar kawasan kraton. Pembiayaan pengelolaan ditanggung oleh Sultan. Demikian pula penempatan para tenaga pengajarnya, ditunjuk atas persetujuan penguasa politik. Para tenaga pengajara ini memperoleh nafkah dari hasil tanah lungguh yang diserahkan Sultan. Setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh tokoh agama yang disebut kyai atau ulama.
Setelah kehadiran kaum colonial, khususnya Belanda, pondok pesantren ikut dilibatkan dalam kancah politik. Dalam pandangan [emerintahan colonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontah”. Atas penilaian itu pula maka sekitar tahun 1926, pondok pesantren sudah tidak lagi termuat dalam statistic pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengemabangan institusi dan system pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik colonial. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya Undang-Undang Sek9olah Luar Liar(Wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebut memperoleh subsidi dari pemerintah, dan dianggap legal. Sedang yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud dinilai sebagai sekolah luiar, harus dibubarkan.
Untuk mengantiipasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah organisasi social keagaam mulai mengadopsi system pendidikan Barat, yang dipelopori oleh golongan pedagang keturunan Arab bernama Jamiatul Khairiyyah, memelopori berdirinya system pendidikan Islam modern yakni madrasah, yang kemudian diikuti oleh Muhammadiyah, Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, Nu, dan lain-lain. Sementara itu diluar pengawasan pemerintah, system pendidikan pondok terus berlanjut.

A. DIMENSI POLITIK

Politik Pendidikan adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya. Kajian lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya. Kajian politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan Negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat yang lebih baik. Kajian politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik Negara dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah, tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun kembali melalhu jalur pendidikan, dan tentang bagaimana perkembangan dan keruntuhan suaru hegemoni.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system social politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang sau sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara, lebih dari itu, keduanya saling menjunjang dan mengisi.
Lembaga-lembaga pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebailiknya, lembaga –lembaga dan proses politik di suatu Negara membawa dampak besar terhadap pada karakteristik pendidikan di negara tersebut yaitu realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Di dunia Islam, kerterkaitan antara pendidikan dan politik terliohat jelas. Sedang peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan –ersoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik elompok dan pengilkutnya. Dalam analisisnya tentang pendidikan [pada masa Islam klasik Rasyid (1994) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid tidak hanya sebatas dukungan ,oral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi,keuangan, dan kurikulum.
Selain karena factor religius nbahwa Islam sangat menjunuung aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dakwah dan wadah untuk menanamkan ideology Negara. Pendidkan Islam tidak hanya berjasa dalam menghasilkan para pejuang yang militant dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar akan hokum.
Di Negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara politik dan pendidikan dimulai oleh Plato dalam bukunya “Republic”. Dalam buku tersebut utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, kemudian juga membahas hunuban antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Adanya hubungan dinamis anatar aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287, hubungan timbale balik anatara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), maslaah pengangguran (unemployment), dan perranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang social, politik, dan ekonomi.
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud dala berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik seting social politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dalam suatu masyarakat, hubungan tersebut bisa saja sangat kuat dan riil, dan dalam masyarakat lainnya hubungan terebut bisa saja lemah dan tidak nyata. Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai-nilai dan lembaga Barat, pola hubungan natara pendidikan dan politik berubah daridari pola tradisional ke pola modern. Di Negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapaiperbahan politik dan dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di sebagian Negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik.
Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada system politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.
Jika politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai social (Harman, 1974:9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan menurut Baldridge (1971), lembaga-lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem politik-mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sitem politik. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-sapek kependidikan.
B. PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA
Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pendidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalaupun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substansi hubungan politik dan pendidikan. Namun demikian keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.
Keterkaitan politik dan demokrasi dalam pendidikan sangatlah erat, karena untuk membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warga negara tidak sekedar mampu membaca dan berhitung, tetapi juga perlu memahami fungsi pemerintahan yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan memahami konsep operasional pasar bebas. Kekuatan suatu bangsa terletak pada kemampuan warga bangsa untuk mengambil keputusan secara rasional. Kadar pemahaman warga bangsa atas fungsi pemerintahan akan menentukan derajat rasionalitas keputusan yang diambil. Begitu juga dalam kaitan dengan pendidikan, diharapkaan ada upaya memfasilitasi setiap peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan individual dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama.
Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempegaruhi pengambilan keputusan kebijakan public. Pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan warga dalam masyarakat demokratis. Untuk itu, dalam setiap peserta didik harus ditanamkan dan dikembangkan sikap politik dan kemampuann untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Sekolah memang bukan lembaga politik, namun memiliki dampak yang signifikan atas proses politik lewat tanggung jawab sekolah membekali peserta didik dengan pengetahuan dasar tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta mengembangkan daya kritis dan kejujuran untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sekolah juga memiliki tanggung jawab melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan fungsinya sebagai anak bangsa di lingkungan masyarakat yang demokratis. Sekolah Memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik guna berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Rezim Orde Baru menjadikan pendidikan sebagai instrumen melanggengkan kekuasaan mereka lewat indoktrinasi politk. Akibatnya, kepala sekolah dan guru tidak lagi mendasarkan kerja mereka pada profesionalitas, melainkan pada instruksi, petunjuk dan pengarahan. Sekolah bukan lagi wahana yang bersifat demokratis, melainkan merupakan lembaga demokratis. Lembaga yang anti demokratis, seperti lembaga pendidikan dewasa ini mustahil akan dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis. Untuk itu, demokratisasi lembaga pendidikan perlu mendapatkan priortas perhatian. Dengan kata lain reformasi pendidikan yang mendasar atau lebih tepat transformasi pendidikan merupakan keharusan.
Untuk menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan jati dirinya dan bertindak sesuai dengan dirinya, sehinggga dapat memenuhi interes dan mengembangkan bakatnya, dan dapat mengambil keputusan secara rasional tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukan demi kepentingan diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya, perlu pembaharuan aspek regulasi, profesionalitas dan manajemen. Kemampuan memahami persoalan masyarakatnya, pengambilan keputusan yang rasional bertindak sesuai dengan keputusan, sangat diperlukan untuk mencegah munculnya tirani baru.
Dengan demikian sekolah yag demokratis akan menjadi sumber pengembangan moral. Pemaksaan dengan berbagai dalih tidak akan mendapatkan tempat lagi. Pemaksaan di sekolah hanya akan menumbuhkan frustasi yang cepat atau lambat akan melahirkan proses merosotkan rasa percaya diri, keputus asaan, dan kekerasan terhadap satu dengan yang lain.
Salah satu implikasi dari transformasi pendidikan adalah system dan cara belajar dewasa ini yang siswa dipacu berusaha menguasai bab-bab yang ada dalam buku harus dirombak dan guru harus tidak sekedar memberikan informsi, memberikan tes kemudian memberikan nilai, tetapi lebih jauh lagi bahwa mata pelajaran yang diajarkan hanya merupakan sarana membentuk diri peserta didik, baik intelektual, personal maupun aspek sosial. Untuk itu, guru harus mnemahami apa yang dipikirkan dan dipahami oleh siswa, serta mampu mengembangkan hubungan yang akrab dengan peserta didik, sehingga dapat menciptakan learning performance yang otentik, mmperhatikan perkembangan siswa, menghormati perbedaan di kalangan siswa.
Diharapkan dengan perubahan ke tiga aspek tersebut, dapat berdampak pada perubahan aspek-aspek : perencanaan, pelaksanaan, standar, target, pemahaman tujuan-target, system insentif, umpan balik orang tua-siswa, orientasi, persepsi terhadap input, evaluasi, kontrol sekolah, pengambilan keputusan, dan peran orang tua siswa dan masyarakat..

C. FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling
mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-embaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.
Yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen si\osialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang system politik, dan jenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Berbagai institusi pendidikan yang ada di masyarakat dapat
berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam uapaya membentuk sikap keyakinan politik yang dikehendaki . Berbagai aspek pembelajaran, teeuatama kurikulum dan baha-bahan bacaaan, sering diarahkan pada kepentingan politik tertentu.
Eliot(1959:1047) menambahkan bahwa salah satu komponen
terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesionalisme, pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide-ide dari individu yang didewa-dewakan seperti John Dewey, John Lock, William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Kenbutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi program untuk mengantisipasi tuntutan public. Ketiga, aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa irganisasi kebangsaaan yang memiliki semangat patriotic. Berbagai kelompok tersebut sering mempengaruhi isi kerikulum dan sulit dicegah. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran.
Menurut Massialas (1969a:18-19 dan 1969b:155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang sesuatu system), afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negative terhadap penguasa atau symbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsure-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak Negara berkembang dan totaliter, peimpin politik sangat menyadari pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melaksanakan berbagai cara untuk mengontrol system pendidikan dan menitipkan ppolitik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan.
Dari generasi ke generasi, negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang ditimbulkan oleh system pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka meyadari bahwa Negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankkan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarhkan berbagai unsure kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam enentukan arah perubahan politik. Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh factor pendidikan.
Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan controversial dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Misalnya, kebijakan tentang kurikulum Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) , dan kebijakan tentang seragam sekolah, khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi di sekolah umum.Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad para penguasa rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara secular berlandaskan Pancasila. Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didisain sedemikian rupa sesuai dengan visi dan misi plitik penguasa rezim.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan system pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan system pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama masa Orde Baru otoritas pendidikan di kabupaten dan ota hanya merupakan perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maa pada era reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menata system pendidikan masing-masing, yang tergambar dalam semangat otonomisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk menunjang proses otonomisasi, sekolqh-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit plaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan self-sufficient dan self-fulfilment. Inilah salah satu alas an mengapa sejak 1999 pihak Departemen Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan School Based Management (BSM) di sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. Untuk memperkuat daya dukung sector pendidikan terhadap gerakan refrmasi dan mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based curriculum. Unt5uk memacu partisipasi para stakeholder pendidikan, pihak Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based education. Saat ini di sekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan perwakilan dari stakeholder. Untuk mem-backup pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam mendidain dan mengembangkan program-program pendidikan, maka di beberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang ada di daerah.
Di tingkat Perguruan Tinggi , pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot p[roject perguruan tinggi tersebut berubah status dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan perubahan status tersebut, maka para pengelola institusi pendidikan tinggi tersebut diberi kebebasan untuk mencari, memanfaatkan, dan mengembangkan dana serta program perkuliahan. Pengelolaan dana pada BHMN diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit oriented. Para pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan sumber-sumber dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akademik.

D. SOSIALISASI POLITIK
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik mendasar yang harus dimiliki bersama oleh sebagian besar anggota ari system yang sedang berjalan dengan berbagai variasi. Salah satu prasyarat fundamental bagi bertahannya sebuah sstem politik, menurut Easton (1957:311), adalah apabila oreang-orang yang terlibat dalam system politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Bagian paling relevan dari proses conditioning ini, menurut Easton (1957:311) adalah sosialisasi politik (political Socialization) atau politisasi (politicization). Menurutnya, daya tahan suatu system dalam banyak hal akan tergantung pada sejauh mana keberhasilan proses politisasi.
Salah satu jalan yang menghubungkan sekolah dengan politik, kata Massialas ( 1969:155) adalah elalui sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya; kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasi-oraganiosasi yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya, bisa saja secara eksplisit maupun implicit terkait dengan transmisi orientasi politik dasar terhadap lingkungan. Orientasi politik dasar, menurut nya terbentuk pada usia sangat dini, khususnya antara usia 13 tahun. Orientasi politik dasar yang terbentuk pada usia tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidup kecuali jika ada lingkungan sangat kuat yang mempengaruhi individu.
Sosialisasi politik doiperlukan, baik untuk mempertahuankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan suatu system politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan atau kritik terhadap suatu system diberikan oleh agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, gereja, masjid, kelompok sebagaya dan sekolah. Sekolah, misalnya, dapat mensosialisasikan anak didik untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap loyal terhadap pemerintah. Sebailknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis terhadap suatu rezim. Dengan menekankan hak dan privilese mereka sebagai warga Negara, ketimbang tugas-tugas dan kewajiban mereka, sekolah dapat menstimulasi pada pemuda untuk mengorganisasi dan mengatikulasikan keinginan tertentu terhadap pemeribtah dalam bentuk tuntutan.
Secara lebih luas, sposialisasi politik melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi system politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideology dan agenda politiknya adalah dengan mengontrol system pendidikan. Ketika system politik memgalami transformasi radikal, langkah awal yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera mengubah system pendidikan. Mereka mengubah struktur, personil, kurikulum, dan peserta pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku yang ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan. Hal serupa juga dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa untuk memperkuat cengkeraman kolonialisme di Negara-negara Asia dan Afrika. Dalam konteks inilah dapat dilihat dengan jelas betapa pendidikan berperan besar dalam integrasi system politik.
Easton (1957:311) melanjutkan salah satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu system politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus mengasai ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan oleh para anggota system yang ada. Apakah suatu system politik baik atau tidak, jika system itu ingin berlanjut, dalam artian luas system tersebut harus mampu mendidik anggota masyarakat untuk memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan dari mereka.

E. ORIENTASI DASAR POLITIK

Orientasi dasar politik, menurut Easton (1957:311-12), mencakup tiga elemen utama. Pertama, obyek politik atau kesan yang dipersepsikan. Kedua, nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan. Ketiga, sikap politik (political attitude).
Tiga orientasi dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan oleh individu tertentu tentang orang-orang, praktik dan institusi akan dibentuk secara bersama oleh apa yang dia kehendaki dan sikap-sikap yang diekspresikannya terhadap obyek-obyek politik.
Banyak badan dan mekanisme dalam masyarakat yang memberi kontribusi pada sosialisasi politik anggota seuatu system politik. Institusi-institusi pendidikan memainkan peranan penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan system politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi dasar yang dimiliki oleh individu. Rata-rata anak berada di bawah pengaruh sekolah mulai dari usia lima (5) tahun hingga usia 15 atau 16 tahun, seuatu periode yang cukup bagi sekolah untuk memberi warna pada kehidupan mereka pada masa dewasa.
Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekrutmen politik. Pada umumnya pendidikan meningkatkan peluang bagi individu untuk naik ke jenjang kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi dan untuk mendapatkan status elite politik.
Wajib belajar yang bersifat universal telah memainkan peran penting dalam memberantas buta aksara secara missal sehingga memungkinkan terlaksananya system komunikasi dalam system politik modern saat ini. Tanpa massa yang melek huruf suatu system politik tidak mungkin dapat dijalankan dari generasi ke generasi. Kelompok-kelompok yang dipertemukan melalui industri pendidikan, seperti dosen-dosen, guru dan urid, sering memainkan peran penting dalam memberikan masukan pada system politik. Kelompok-keompok mahasiswa, misalnya , telah sangat mempengaruhi kebijakan public pemerintah. Begitu juga guru-guru, memainkan peran poitk penting dalam masayarakat, adlah kelom[ok politik yang signifikan, selain jarena partisipasi langsung mereka dalam politik, juga karena posisi ,mereka sebagai penghubung komunikasi antara kelompok elite modern dengan massa rakyat. Keterlibatan guru dalam dunia poitik bisa didorong oleh keinginan untuk mengekspresikan aspirasi politik tertentu, bisa juga karena terkooptasi oleh kekuatan pengusasa, sebagai contoh pada masa Orde Baru adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang berafiliasi dengan Golongan Karya (Golkar).

F. LANGKAH KE DEPAN
Kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang studi lebih terkait
dengan perkembangan kebijakan pendidikan ketimbang dengan metode, teknik, atau teori-teori penelitian. Pada masa lalu perkembangan penelitian terhambat oleh para praktisi pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan public tidak bersifat politis dan memiliki struktur pengelolaan yang terpisah dan independent. Sikap isolasionis ini memaksa para peneliti untuk mengamati praktik sekolah (school operations) dan mengabaikan lingkungan politiknya.
Pada masa yang akan datang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh Negara, manajemen atau ontrol terhadap pendidikan, studi banding atas Negara-0negara yang emiliki pemerintah kesatuan (unitary government), control fiscal sentralistik dan sentralisasi kurikulum dan minat serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat.
Untuk konteks ke Indonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa focus yang berkqitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan social dan politik negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otonomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampus, manajemen perguruan tingggi, manajemen sekolah, akreditasi, dan lain-lain. Memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan, mengggalakan studi komparatif cross-regional maupun cross-national, meninjau dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat mikro maupun makro.
Di era otonomi pendidikan sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas, dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah, dan analisa tentang latar belakang, isi, actor, implementasi, dan implikasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat ntuk skala nasipnal maupun yang dibuat untuk skala daerah.

G. KESIMPULAN

Sebagai suatu usaha mempertahankan system yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian system nilai politik (politik, budaya, ideology, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsure-unsur dinamis yang ada pada diri manusia, yaitu sikap, perilaku, system berpikir, pandangan, unsure indriatif dan unsure-unsur instingtif yang diarahkan kepada suatu obyek tertentu (kondisi pelestarian) agar obyek tersebut dapat didekati.
Proses mengaktifkan unsure-unsur dinamis tersebut yaitu melalui proses pendidikan, karena erat relevansinya dengan unsure-unsur dinamis dimaksud. Pendidikan sebagai suatu aktivitas mempengaruhi, mengubah dan membentuk sikap dan perilaku berdasar nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.
Bidang pendidikan mendapat perhatian khusus pemerintah karena pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan suau bangsa dan Negara. Lebih jauh dari itu pendidikan aan menentukan nasib bangsa dimasa yang akan dating. Pendidikan yang diselenggaraan pemerintah diarahkan untuk membentuk sikap, perilaku dan pola piker yang bersifat integrative, yaitu suatu sifat yang m,elihat bangsa dalam suatu esatuan yang utuh, tidak terpecah oleh keyakinan yang berada di luar pola keyakinan yang telah diterima dan dijunj8ung tinggi bersama.
Pada umumnya pendidikan politik yang dilaksanakan suatu Negara dalam system apapun bentuknya adaah bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan generasi penerus senbagai penerima dan pelanjut system nilai (system politik, pola keyakinan, seni budaya).
2. Menyamakan system berpikir tentang nilai-nilai yang dapat mempedomani aktivitas kehidupan bernegara.
3. Memantapkan sikap jiwa di dalam melaksanakan system nilai sekaligus membangun hasrat melestarikannya.
Dalam proses pendidikan politik yang menjadi perhatian bukan
hanya peserta didik (sebagai calon komunikator politik) namun juga para pendidik yang bertugas mentransformasikan simbol-simbol politik. Dalam system politik di Indonesia, para pendidik sebagaimana ang ditetapkan dalam pasal 31 ayat (1 dan 2) berkewajiban untuk:
1. Membina loyalitas pribadi peserta didik terhadap ideology Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kebudayaan bangsa
3. Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengamdian
4. Meningkatkan kemampuan professional sesuai dengan tuntutan perkembangangan ilmu pengetahuan dan tenologi serta pembangunan bangsa.
5. Menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.





















POLITICAL DIMENSION

Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan Umat

Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan Umat

Oleh: Muhammad Syafii Antonio

Mencermati angka anggaran pendidikan 2002, kita cukup gembira. Tetapi, prihatin dalam waktu yang sama. Gembira karena pemerintah telah berupaya maksimal mengalokasikan Rp 11,6 triliun rupiah atau sekitar 24,5 persen dari total anggaran pembangunan, untuk anggaran pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga. Sedih bila kita melihat perbandingan anggaran pendidikan negara-negara maju yang mencapai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP), sementara itu, di negara negara berkembang 2,5 persen. Khusus Indonesia, anggaran pendidikan kita baru mencapai 1 persen dari GDP. Melihat keterbatasan ini adakah konsep fund for education yang mampu ditawarkan Islam. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya, kita lihat bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik mampu berkiprah dan survive.

Mencermati nama-nama lembaga Islam terkemuka seperti Al Azhar University Cairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Terbetik dalam pemikiran kita bagaimana mereka bisa besar, mampu bertahan berabad-abad lamanya, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa selama lebih dari 1.000 tahun dari seluruh penjuru dunia? Pertanyaan ini mengemuka karena baik Al Azhar, Zaituniyyah, demikian juga Universitas Nizamiyyah (yang pernah di pimpin Imam al Ghazaly) di Baghdad bukanlah lembaga pendidikan yang fully profit oriented. Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak sosial. Apakah mungkin pendanaannya hanya mengandalkan sedekah dan infak masyarakat setempat, sementara mereka harus membiayai operasionalnya sendiri, membangun sarana belajar-mengajar tambahan, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa yang mana Indonesia termasuk paling banyak menikmati fasilitas ini? Salah satu jawabannya adalah mereka telah berhasil mengembangkan cash waqf sebagai sumber dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan.

Waqf atau wakaf secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Oleh karena itu, tempat parkir disebut mauqif karena di situlah berhentinya kendaraan demikian juga padang Arafah disebut juga Mauqif di mana para jamaah berdiam untuk wukuf. Secara teknis syariah, wakaf sering kali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk kemanfaatan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. Secara administratif wakaf dikelola oleh nadzir yang merupakan pengemban amanah waqif (yang memberi wakaf). Contoh yang paling klasik dari wakaf adalah tanah. Hubungan antara makna harfiyah dan makna teknis terkait dengan adanya ''keabadian'' unsur pokok (substansi) di mana ia harus berhenti, tidak boleh dijual atau dialihtangankan kepada selain kepentingan umat yang diamanahkan oleh waqif kepada nadzir waqf.

Perdebatan ulama tentang unsur ''keabadian'' mengemuka, khususnya antara mazhab Syafii dan Hanafi di satu sisi serta mazhab Maliki di sisi yang lain. Imam Syafii misalnya sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf (lihat kitab al Umm bahasan Ihbas atau Mughni Muhtaj vol II hal 376, karya Khatib Syarbini). Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafii, maka bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya.

Di lain pihak, Imam Maliki (lihat pembahasan wakaf dalam Bidayat al Mujtahid wa Nihaya al Muqtashid karya Ibn Rusyd dan Mughni wa Syarh al Kabir karya Ibn Qudamah) mengartikan ''keabadian'' lebih pada nature barang yang diwakafkan baik itu, aset tetap maupun aset bergerak. Untuk aset tetap seperti tanah unsur keabadian terpenuhi karena memang tanah dapat dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut, demikian juga halnya dengan masjid atau madrasah. Berbeda dengan Imam Syafii, Imam Maliki memperlebar lahan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Dalam pandangan mazhab (school of thought) ini ''keabadian'' umur aset wakaf adalah relatif tergantung umur rata-rata dari aset yang diwakafkan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini mazhab Maliki telah membuka luas kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk aset yang paling likuid yaitu uang tunai (cash waqf).

Dalam catatan sejarah Islam, cash waqf ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.

Ada empat manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika alakadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.

Ada tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan prinsip cash waqf dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi cash waqf harus dilihat dalam bingkai ''proyek yang terintegrasi'', bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf akan ''habis'' bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus ''abadi''. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nadzir. Sudah terlalu lama nadzir sering kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta'ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib ''berpuasa''. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nadzir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan nadzir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki, misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net income pengelolaan dana wakaf.

Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

Semoga dengan penerapan cash waqf ini, umat Islam dapat melakukan akselerasi peningkatan kualitas SDM umatnya. Karena, toh, kewajiban pendidikan adalah fard al kifayah yang harus kita tanggung bersama tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan yang memang semakin lama semakin jauh dari angka yang ideal.